Jumat, 15 April 2011

Sujudku

di keheningan malam, terhimpit sebuah harapan
sebuah nyata dalam lamunan

Ambil air basuh muka penuh dosa
dingin...menggigil

dengan sigap dan penuh harap
s'gala aral berhasil menjaga

Tadahkan tangan
Berucap segala dosa
Curahkan s'gala dosa
Baluran air mata

"Ampuniku... Gustiiiii.. segala yang ada di bumi t'lah ku kotori,
s'gala peringatmu tak ku patuhi.."

Sujudku...
dikeheningan,
Buat hati,,,,
terasa ringan.

De Echie
Desember 2010

How do I add Reactions to my blog?

How do I add Reactions to my blog?

Puisi

Kepada Bumi

kepada bumi kuceritakan semua
Tentang rasa, asa, gelisah dan duka
bumi pancarkan kehangatan
yang setia mendengar keluh kesah
yang setia endengar batin gundah
yang setia menampung derasnya air mata

Bumi...
diam membisu.
mendengar lontaran amuk masa
di setiap penjuru kota

Bumi, kini
tiada lagi Bumi..
yang setia temani
yang setia bersahabat dengan kegundahan hati
kala,
Bumi yang setia redakan tangis
karena pohon si pemberi sejuk diri

aku, kamu, mereka, kami, rindu bumi..

De Echie 03/2011


 Kusambut Mentari Esok Hari

Malam-malam dingin dan pekat, kita masih berjalan
Rumah-rumah besar dan megah kita lewati tegap dan
Angkuh
Tapi kita musti terus berjalan menyusuri malam,
Menyusuri kepekatan
Untuk sejumput harapan, untuk sejumput kecintaan.

Ajip Rosidi
(Jembatan Dukuh), Terkenang Topeng Tua

Beralaskan langit hamparan hiasan kejora menari-nari bersama awan hitam, disandingkan sepotong cahaya bulan, sepoi-sepoi angin malam iringi kesendirian, senyum simpul arungi kebahagiaan, kado-kado terindah menyelinap kepangkuan. Angin berteriak kegirangan, pohon-pohon melambai beriringan hembusan nafas kehidupan.
Detak jantung alirkan kegelisahan, hawa panas tak lagi berkerumun riang kepangkuan. Sujud syukur panjatkan doa terindah harap sampai ke alam impian. Puncak-puncak kehampaan hilang seketika. Kabar gembira akan bawa kita pada dunia nyata. Kian larut, waktu berlalu berganti tawa bahagia dengan sejuta rasa dan sejuta pesona.
Tampak sesosok pria gelisah, gusar, getir, bahagia, haru, tangis bercampur dalam peraduan menunggu harap.
Lihat sekeliling awan bertumpuk di atas awan dan ia menjadi gelap. Intipan rembulan hanya mampu bawaku pada senyum simpul sesaat. Bintang terangi namun, tak bercahaya. Bunga kenanga menari-nari semerbakan bau kasih. Gurauan angin tak lagi kuperhatikan, mangamuk. Hujan pun turun basahi bumi, teras rumah seketika basah. Aku berdiri, masih menunggu harap cemas lari dari dalam diri.
“Cinta mengapa kau biarkanku menunggu di luar pintu?”
Lambat laun pintu terbuka, diiringi petir menyambar pohon tua depan rumah. Sorot lampu tak terlihat.
“Gelap.. gelap.. mati lampu heii mati lampu, berikan cahaya bagi si dia.” ucap seorang lelaki yang sedari tadi berdiri di luar. Gusar.
Patromak berikan senyum simpul seisi ruangan.
Berdiri sendiri mengaharap kenyataan termenung, bersama sofa terasa keras, bunga-bunga melambai tak ada rasa, tira-tirai tertiup hembusan angin menyibak kegalauan. Patromak pun ikuti kegusaran sang tuan. Bawanya pada kehangatan ruang. Malam larut dalam keheningan. Temaninya dengan secangkir kopi  penenang jiwa yang rapuh karna cinta.
Sruupuuuutttt…
Srupuutt…  
Srupuutttt, suara itu kembali hadir ditengah-tengah malam hening menunggu harap cemas datangnya malaikat ke bumi.
Haaaahhhhh…. suara itu terdengar pilu. Dilihatnya sang lelaki terkapapar membisu. 
Saat tengah hariku bersama dunia fana tak terasa kejamnya menyiksa batin. Dirimu selalu  ada menyemangatiku dengan  indahnya kata, si pemanis rasa.
Kata maaf terlontar dari bibir-bibir penuh dosa. Saat sibuk tak pedulikan kata pemanis rasa. Pekerjaan pasang tengah hari dikungkung bersama kerumunan tak bernada. Namun, pada hari sunyi gelap hanya untukmu ku berharap.
“Jika kau meninggalkanku sepenuhnya sendiri, ku tak tahu bagaimana harus melewati jam-jam panjang dan berhujan ini.”
Kutetap memandang sekeliling.
Bok Inah bolak-balik membawa keperluanmu, ku berharap cemas.
“Hariku sepi, hariku pahit, malam ini begitu pahit.. pahit.. hahhhhh.” suara lelaki itu mengelagar seketika itu.
Eaaaaa..eaaa…eaaa..eaaa.. eaaa… aaaa…eaaa.
Suara tangis bayi menggemparkan seisi ruangan. Sesosok pria terbangun dari alam lamunan kesendirian.
“Tangis bayi, bayi, bayi, bayikuuu…… , istriku..istriku??”
Terperanjat ia langsung masuk ke empat dimana suara itu berada.
“Istriku, bayiku, kalian selamat?”
Bayi lahir kepangkuan, tangis, tawa bahagia melebur jadi satu.
Diapangkuan ibu, bayi merangkak mencari kehangatan. Istana hangat penuh pesona gelak tawa.
Adzan berkumandang menggemparkan alam semesta. Kokok ayam bersahutan riang menyambut fajar. Embun pagi tetesi bumi. Angin subuh begitu dingin terasa menusuk pori-pori. Suara tangis bayi terlelap seketika.  Suatu harap tak disangka.
****
Dalam benak Ayah,
Jembatan kasih telah terpatri
Bersanding dengan hatiku, menemaniku semampunya
Di keramaian ku terdiam,
Hanya tatapan mata tajam menyorort sanubari
Alunan melodi hati berdegup keras,
Tak ayal ku tak bisa menghentikan
Sorotan tajam mata itu
Duduk dipangkuan rinduku,
Melodi hati kembali memuncak ??
Tak sadar di keramaian ku dan dia bersanding
Dalam lautan tangisan,
Yang tak mampu ku ceritakan pada keramaian.
Sang ayah syok, seisi rumah genting, membangunkan ibu si jabang bayi. Teriakan tawa kebahagiaan seketika berubah teriakan pilu menusuk-nusuk dada penuh sesak.
bagai kiamat kecil, meluluhlantahkan kota..
kini hanya kenangan yang terbersit dalam angan,
hanya tangisan kerinduan pada dia yang meninggalkan alam semesta,
Sang Penguasa telah merenggut nyawa kekasih tercinta
Menyisakkan air mata yang ditinggalkan.
Suatu harap tak disangka. Seorang wanita muda nan penuh pesona, berbudi baik, ramah pada semua menghembuskan nafas terakhirnya.
“Jika kau tak bangun dan bicara aku akan mengisi hatiku dengan kesunyian dan memikulnya. Ku tetap diam dan menunggu seperti malam berbintang yang berjaga-jaga dengan kepalanya menunduk rendah penuh kesabaran.”
“Pagi pasti kan datang kegelapan akan lenyap dan suaramu mengalir dalam benak sang anak sungai keemasan menoreh langit.”
“Biarkan aku memasrahkan semangatku yang mengendur dalam persiapan tak memadai untuk memujamu.”  
Rona wajah merah kembali nampak, pelangi kembali ke sarangnya. Samudera putih palung hati mencoba merebut kembali pelangi yang hilang. Simfoni gelak tawa kembali hadir, dia pasrah saja dikegelapan, Namun, ada seberkas cahaya yang mampu mengajaknya kembali pada keramaian, bersanding dengan keindahan.
Dari celah jendela kamar kulihat alam beramah tamah, tersenyum simpul alunkan melodi kebahagiaan. Langit cerah ceria, mentari hangatkan segala yang ada, angin pagi sejukkan hati sendiri. Tetesan embun hilang berganti awan putih beterbangan jauh di awan. Burung- burung terbang beriringan. Mengepakkan sayap indahnya. Burung gagak terbang kesana kemari mencari mangsa untuk dimakannya.
“Namun disini aku sendiri berteman sepi, tak seperti burung, angin, awan, apalagi mentari yang menghangatkan segalanya.“
Senja menggelayut di bibir langit, mengisaratkan untukku harus cepar terlelap ke alam impian.
Masa telah berlalu, si bayi telah bernama, Sifa Nur Fitriana nama yang indah. Menurut bahasa arab yang kita kenal, katanya sifa itu artinya obat, Nur itu cahaya dan Fitri itu suci. Jadi semoga saja Sifa anakku menjadi obat si pelipur laraku, dan menjadi penerang hidupku dan dirinya yang ditinggal ibu tercinta, serta ia menjadi malaikat yang suci yang mampu bawanya pada kesucian hati. Itulah yang ada dalam benak sang ayah. Nama yang ia dapat dari surat wasiat yang ditinggalkan mendiang istrinya.
“Sungguh nama yang bagus.” Ia tersenyum simpul saat membaca surat wasiatnya kembali.
 Terlihat sorot mata menawan, senyum simpul tersungging dari bibir manisnya, mengingatkan kita pada ibunya yang mendahului menghadap sang pencipta.
Impian menggelayuti, harap tawa memapah hati goyah. Terbersit angan bahagia bersama arungi jalan penuh duri. Mendung hari ini terasa genting, terbiasa menatap waktu berputar beriringan. Semilir angin getar amarah, gelora jiwa teramat sangat, rasa, dalam  pacu waktu tak tertahankan, dalam tawa terbersit ingin rasa pelukmu kasih tercinta disurga.
Tawa riang malaikat kecil, buyarkan impian ayah.
              Aku harus terus berjuang dan bersabar, demi malaikat kecil mungil titipan illahi, buah cinta kita.
Pacuan waktu berlari memapah waktu. Hangatnya mentari sampai ke pori-pori. Membangunkan ayah yang terlelap di bangku rotan. Bersama pagi, embun tetesi bumi menambah sukma ingin berlari.
Bergegas pergi ke perduan menjemput rizki demi sesuap nasi. Tawa riang bayi mungil menggembirakan hati ayah yang akan pergi. Seecepat kilat ayah memandikan sang bayi, memakaikan baju terindahnya. Wangi semerbak bau kasturi, wahai bidadari kecil bahagia ayah kali ini melihat tawa riangmu. Sambil menggendong dan menciumi malaikat kecil.
Dalam lamun ayah.
Andaikan bidadariku disisimu ada ibu yang setia setiap saat memandikanmu, mengurusmu dan aku. Hidup bahagia bersama mengarungi ganasanya dunia.
Terhentak ayah dikagetkan suara klakson mobil yang lewat di depan rumahnya. Bergegas ia naik mobil yang menuju rumah bibi. Sepanjang jalan pohon-pohon tertawa riang, sambut pagi bersama indahnya mentari.
Jalanan tampak tak begitu ramai lalu lalang orang-orang, cuaca masih dingin berselimut kabut pagi dingin menyapa.
Terlihat seorang wanita muda berdiri di halaman depan rumah, ternyata ia telah sampai pada tempat yang dituju.
“Kiriii….” Ucap ayah, seraya mobil itu menghentikan jalannya. Cepat-cepat ayah melangkah menuju seorang wanita muda yang sedari tadi berdiri dengan sapu ditangannya.
“Assalamualaikum…” ucap ayah.
Dengan kagetnya ,bi inah menjawab sambil melemparkan sapunya ke depan ayah,  “Waalaikumussalam.”
“Untung saja tidak terkena malaikat kecilku”
“Tunggu dulu, ada apa sepagi ini kamu datang kemari, semabari membawa si Sifa?”
Lelaki itu tak menjawab apa-apa, tanpa basa-basi ia langsung menyodorkan Sifa pada bibi.
Namanya bi Inah, ia tinggal di jalan sentot, yang letak rumahnya tak jauh dari rumah lelaki itu.
Bibi hanya melongo,sembari dielus-elusnya kening si bayi.
“Ya sudah, saya berangkat kerja dulu, nanti saya kembali”
“Assalamualaikum” Dalam ucap terakhirnya sambil mencium kening sang malaikat kecil.
“Waalaikumussalam”
Ayah berlalu, bibi pun menggondongnya ke dalam rumah. Dengan mata masih tetap saja menampakkan wajah bingungnya.
“Ada-ada saja tingkah kelakuan ayahmu nak”
 Lama Sifa tinggal bersama ayahnya. Masa kanak-kanak begitu indah untuk dikenang. Berlari, menari, tertawa terbahak-bahak sepuasnya. Namun, selama itu Sifa tak pernah sekalipun menanyakan ibunya. Mungkin karena bertahun-tahun ia tinggal bersama ayahnya.
Beranjak remaja ia paham tentang pentingnya seorang ibu. Sungguh, Sifa tak ingin menanyakannya pada ayah. Padahal dalam benaknya, ia begitu sangat merindukan ibu. Apalagi harus bersanding dengan temannya yang setiap pergi sekolah ditemani ibu. Sebelum masuk, mencium keningnya, dan senyum simpul lontaran kehangatan ibu.
Huuuhh… kenapa aku harus sendiri. Pikir Sifa dalam lamunannya.
Sejauh mata memandang, hanya pepohonan dan jalan-jalan ramai lalu lalang orang-orang. Dipinggir sebelah barat tak jauh dari tempatku duduk, air mancur memancarkan kerlingannya menari bersama senja, kicauan burung menyahut yang akan pulang kesarangnya ke sebuah pohon besar depan rumahku. Yang di bawahnya terdapat bangku-bangku kayu tempat dimana aku sering menulis surat curahan  rinduku pada ibu, dan menangisi kesendirian hidup tanpa ibu.
Ooh… Ibu, kemana Ibu pergi dinda kangen ibu, dinda ingin peluk hangat ibu, dinda ingin setiap akan terlelap dalam mimpi, ibu mencium kening dinda dan terlelap dalam pangkuan ibu. Tapi dimana ibu sekarang?. Lamun adinda penuh derai air mata basahi pipi.
“Dinda, dinda… dimana dinda? Ayah pulang.” Seraya ayah berjalan menuju kamar Sifa.
Tanpa basa basi. Sifa berucap.
“a.. a.. ayyah.. se.. se.. lama i.. i.. ini.. sebenar…nya….. Si..fa sungguh sa..ngat merindukan ibu...” dengan nada terbata-bata sambil menangis memeluk ayah.
“Sebenarnya ibu pergi kemana?. Rindu sangat menghantui diri Sifa. Ingin sekali memeluk dan mencium ibu. Tertawa bersamanya, seperti teman-temanku yang selalu gembira bersama ibunya.”
“Dinda , bukannya ayah tak peduli padamu, bukannya ayah tak sayang. Ayah rasa, kamu juga tau bagaimana perasaan ayah sekarang? Rasa kangen, rindu ingin bersama ibumu.  Sama halnya seperti kamu yang sangat merindukan ibu.
Namun, dinda harus mengerti, dinda kini telah dewasa. Ayah rasa dinda tahu akan kebesaran sang penguasa seluruh alam, sang pemberi nikmat, dan dinda pasti juga tahu bahwa dia akan mengambil miliknya yang ia miliki kapan pun ia mau. Dinda harus mengerti, Ibu telah diambilnya. Dinda harus mengerti itu semua kita semua pasti akan kembali padanya. Percayalah, ayah akan selamanya bersama dinda. Ayah sayang dinda. Karena bahagiaku bahagiamu, ok.“ Ayah yang sedari tadi duduk di sofa dengan secangkir teh temani kala hari itu hujan mengguyur dengan derasnya disertai petir silih berganti, sebuah album pernikahan ditangan ditemani Sifa dalam dekapan sang ayah.
Dalam pelukannya Sifa terisak-isak tangis mengharu biru mengenang ibu dalam sebuah album photo pernikahannya bersama ayah.
Dalam benaknya, andai ibu ada disini, ibu, oh ibu aku sayang ibu. Ibu cantik ibu terlihat ramah, dengan pakaian menutup seluruh tubuhnya, berkerudung kain putih bersih, baju yang sangat indah dipandang. Ibu, aku sayang ibu. Semoga ibu mendapat tempat disisinya, amin. Kembali tangisan sifa memuncak.
“Ibuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu…..”

Angin berhembus di celah jendela alam mendapat duri dan sutera menghembus rasa. Terasa sejuk memesona jiwa. Kadang nafsu terasa sesak, terhirup udara kotor menyiksa. Dingin panas silih berganti menjadi atap langkah kaki, suara parau menambah hati galau. Bersama duri menjemput bebas. Lelah kaki melangkah, lelah kemana arah tujuan kali ini. Asap-asap kendaraan mampu temani sampai ku menutup mata. Pintu-pintu hijau terbuka, tuk dapati sejuknya kemerdekaan. Sampai akhir bersujud dipangkuan.
Pagi meyeruak alam impian. Pagi begitu indah, alam riang burung berkicauan, embun datang basahi bumi pertiwi. Daun-daun kegirangan. Kokok ayam menambah riang para pekerja menjemput impian. Cahaya bulan berganti senyum simpul sang mentari, indah nian.
Hari ini indah, namun tak seindah pemandangan di pojok kamar Sifa. Pemandangan yang tak sedap dipandang mata. Sebuah bantal menutupi wajah gadis belia. Duduk bersenda gurau bersama si mickey boneka kesayangannya. Linangan kristal basahi pipi tak berdosa. Suara parau menambah hati galau. Dalam isak tangis Sifa :
Ayah, aku disini menunggu pelukan ayah.
Ku rindu
“Termenung dikesendirian harap nyata dalam diri”
Aku terbiasa dan tertawa karena
Ayah,
Ayah, kini tak lagi peduli
Menunggu peluk kasih
Ayah,
Hanya impian semata,
Pandangan kaku, hiruk pikuk keramaian tak
Meluluhkan hati ayah
Aku,
Aku ditinggal sendiri menunggu sepi
Kemana ayah, ayahhhh…

Terlelap bersama linangan air mata kerinduan. Sampai larut kembali tiba ke pangkuannya lagi. Dengan jam-jam penuh duri, terbiasa menunggu ayah pulang menyejukkan malam.
Kaki lelah melangkah, tangan-tangan kekar tak ada lagi memeluk si gadis belia periang. Sunyinya malam tak membiasakannya tertidur pulas, setiap malam ayahnya bangun untuk shalat tahajud. Dalam doanya ia berharap diberi kesehatan yang cukup untuk menjaga Sifa sampai akhirnya ada seseorang yang mampu menemani hari-harinya.
Hari itu penyakit yang ayah derita semakin parah, yang mengharuskan Sifa bekerja demi ayahnya berharap dapat kesembuhan. Hari ini hanya doa-doa tersampaikan dengan keikhlasan pada sang penguasa.  
Dalam sujudnya berharap ada keajaiban datang. Dalam doa terakhir salatnya, doa-doa pengobat rindu mengalir lembut dari bibir mungil gadis manis.
Berkerudung putih bersih, alquran ditangan ia baca surat-surat pendek bacakan doa untuk ayah.
Sungguh malang nasib Sifa. Padahal ia masih duduk di kelas Tiga SMP. Kenapa ia harus menerima cobaan yang begitu berat seperti ini.
Tak kunjung sembuh penyakit ayah, sampainya Sifa lulus Sekolah Menengah Atas.
Kehangatan kasih anak pada sang ayah, buat ayah bahagia. Mengindahkan mata sang gadis belia, mengharu biru.
Mata menerawang jauh ketepian jalan. Asap-asap kendaraan buat sesak dada. Perih mata memandang debu jalanan. Lalu lalang orang-orang tak menghiraukan dirinya dalam kebimbangan.
Merasakan kehausan, setelah berjalan berpuluh-puluh kilo. Namun sesal tak ada guna, tak dapat dipungkiri kekuasaan sang pencipta tak mampu mengalahkan segalanya. Takdir yang bisa mengubah segalanya.
Dengan bermodal pendidikan SLTA, Sifa berusaha mencari pekerjaan sampai ketepian jurang. Tak semudah yang dibayangkan ternyata di zaman sekarang ini pendidikan SLTA hanya mampu bekerja memabantu-bantu sebisanya, untuk medapat kedudukan tinggi maka haruslah ia mengenyam pendidikan Tinggi minimalnya sampai tamat S1.
Untuk sekarang yang ia khawatirkan hanyalah keadaan sang ayah yang telah lama terbujur kaku tak ada guna. Hanya bait-bait doa yang mampu tenangkan dirinya dan doa untuk anaknya kelak menjadi orang sukses dambaan semua insan.
Ya Illahi ... apa gerangan mencoba hambamu ini, kemana arah, kemana tujuan hamba berlabuh ..??
Dibawah terik mentari, keringat bercucuran,  kaki telah lelah melangkah. Tak seorang pun menghiraukan terikannya. Dengan sesal ia bawa sampai ke peraduan tempat biasa ia berteduh.
****
Keesokan harinya ia kembali lagi mencari pekerjaan yang pantas dan sesuai dengan ijazahnya. Harapannya hanya satu, ia hanya ingin bekerja demi sesuap nasi dan butuh biaya untuk pengobatan ayahnya.
Dengan sesal kembali ia bawa pulang. Sampai satu bulan ia terus bekeliling kota untuk mendapat pekerjaan yang layak dan mau menerimanya dengan hanya lulusan SLTA.
Sekian lama, waktu terus saja berputar, detik berganti menit, menit berganti jam jam-jam berliku telah ia lalui. Bulan ini ia putuskan untuk menemui bibinya yang tak jauh dari tempatnya tinggal. Meski dengan sedikit ragu, dan harap-harap cemas. Namun ia tetap saja nekad menemui bibinya.
Seorang bibi yang ia anggap cukup baik sebagai teman curhat dikala ia sedang bimbang dan ragu menemukan jalan keluar. Karena dialah orang satu-satu yang dekat dekat dengannya, meski begitu tak semudah dan sebaik yang dibayangkan, ternyata suami bibi yaitu paman Hasan dia orang yang paling kesal dengan kelakuan keponakannya itu karena menyimpan dendam terhadap ayahnya Sifa.
Namun, semua itu tak mengurungkan niat Sifa untuk menemui bi Inah ke rumahnya.
Pada hari itu kebetulan saja bi Inah sedang tidak ada di rumah, yang menerimanya adalah paman Hasan suaminya bibi Inah. Saat itu juga Sifa langsung menceritakan kesedihannya pada paman Hasan. Namun sayang paman Hasan tak memperdulikannya. Memang sejak dulu ia orang yang tak peduli pada saudaranya. Ia lebih sering tinggal dirumah dan menjaga toko kelontong miliknya. Sedangkan Bi Inah setiap pagi selalu pergi ke pasar untuk membeli keperluan rumah tangganya.
Benar saja kelakuan paman masih saja seperti itu, berwatak keras, tak peduli pada ponakan yang punya masalah dan ingin berbagi.
Dengan muka masam dan kecut paman Hasan meninggalkan Sifa di Teras depan.
“Silakan saja tunggu bibimu sampai datang, aku ada urusan lain “ ujar paman Hasan dengan muka masamnya.
“iya paman,” jawab Sifa yang sedari tadi berdiri. Karena tidak dipersilakan duduk oleh paman Hasan. 
Lama ia tunggu bibinya, sampai saat mentari berada di tengah-tengah kepala bi Inah baru muncul.
Tanpa basa basi Sifa langsung saja memeluk bibi. Mereka pun masuk ke dalam rumah dan akhirnya Sifa bisa berbicara bebas bersama bibi. Ia ceritakan kegelisahannya, dukanya bersama ayah, dan inilah tujuan Sifa ia ingin ikut bekerja bersama bibi. Dengan segala pertimbangan, pada akhirnya ia harus ikut bekerja di sebuah toko kelontong milik sang paman.
****
Ya illahi engkau telah menciptakan berbagai duri dimana jalanku menujumu, sampai akhirnya ku temukan secercah harap membantu ayah keluar dari rasa sakitnya.
Berbula-bulan ia lalui segalanya, bekerja dengan pamannya sendiri yang demikian suasana tak nyaman selalu mengikutinya, apalagi saat ia harus berhadapan langsung bersama paman. Dunia seketika berubah kelam.
Dengan modal kesungguhan dan keuletan akhirnya Sifa mendapat uang untuk biaya berobat ayahnya.
Namun, hasil kerjanya selama ini tak cukup untuk ayah berobat, dan akhirnya ia pun meminjam uang pada pamannya. Sampai akhirnya suatu ketika.
bagai anak terlantar tak tau arah tujuan
pada siapa ku mengadu
selain pada-Mu
dunia seakan menghimpitku di jeruji besi
ta' ada kebebasan, ta' ada arah tujuan
ta' ada lagi seseorang yang mengakuiku ada
aku hanyalah debu ta ada guna
ta mampu menghidupkan semua yang ada
ku sendiri...hanya seorang diri
bagai cambuk bagiku, menamparku
sampai hatiku pilu ...

Satu-satunya orang yang mampu mengajarinya, memperhatikannya, menjadi pelindung dikala hujan disertai petir menyambar, puting beliung menggoyahkan segalanya, hanya ayahnyalah yang mampu meninabobokannya.
Dan sekarang apa yang terjadi, saat Sifa membutuhkan seseorang yang menemaninya untuk penyemangat hidup, tak lagi berdaya karena penyakit yang dideritanya sudah pada titik terakhir.
Saat itu, angin bergemuruh riang, hujan ikuti kegirangannya. Namun disebuh ruangan ada wanita muda yang sedang asyik terisak-isak meneteskan air matanya.
“Ayaaahhh… bangun ayah, ayah.”
“De mohon maaf ayah ade harus segera ditangani, kalu tidak ayah anda mungkin akan meninggalkan ade sendiri di dunia ini.” Ucap dokter Hendra. Seorang dokter yang menangani penyakit kanker ayah selama ini.
Lama menunggu, harap cemas ikuti Sifa yang sejak tadi duduk termenung dan berdoa berharap keajaiban datang. Mondar-mandir di koridor rumah sakit, menabrak meja roda suster, bolak-balik kamar mandi, bertanya pada dokter. Melihat sekeliling. Hah rasanya kiamat akan menyambarku hari ini.
“Gerangan, Ayahku pasti akan sembuh.” Ucap Sifa penuh lrih.
“Berdoalah nak, semoga keajaiban akan datang.” Ucap dokter Hendra dengan muka tegangnya.
****
 Suatu harap tak disangka beliau pun pergi menyusul sang ibu yang berada jauh disurga dan pamit meninggalkan Sifa untuk selamanya.
Ayaaaaahh.. mengapa kau biarkan ku sendiri berjalan dijalan penuh liku dan terjal ini, aku ingin ikut bersama ayah, menyusul ibu yang jauh di surga.. Ayaaahh."
Tak kuasa menahan asa, menangis sejadi-jadinya, ia urusi semuanya, pengobatan, biaya rumah sakit, berdoa, operasi pun terlaksana. Namun kekuasaan sang pencipta tak bisa dihindari, aku telah berusaha namun takdirnyalah yang menguatkan segalanya. Hanya doa dan harap ayah diterima disisinya, amin.
Di pemakaman sendiri menunggu sepi, gelap tak bercahaya, hanya lampu pijar yang terangi malamnya, suara tangis kembali membuncah diatas kuburan ayah.
Semakin larut sifa pulang dengan membawa luka dan kesedihannya. Namun semua itu bisa Sifa hindari, Karena sifa ingin ayahnya tenang berada di surga.

Ketenangan mentari yang bersulam kemuraman
hijau pelan-pelan menyebar dihatiku
aku lupa untuk apa aku bepergian,
dan aku menyerahkan akalku
tanpa perlawanan kepada kesimpang
siuran bayang-bayang kelam
apa tujuan kemana tujuan
datang dan menghilang bersama bayang kelam

Ketika Tabir mentari tersingkap, cahaya hangat terpancar menembus pori - pori dedaunan rimbun di pelataran rumah. Burung - burung bernyanyi merdu, dan pepohonan menari karena sang Angin membelainya dengan lembut. Namun keindahan alam dan Pancaran cahaya hangat itu tak mengubah kegundahan Sifa yang sedang duduk terdiam termenung di ruang tamu.
“Ayah… Ibu… sedang apa kau disana ? hhhh… Ya Allah jagalah Ayah dan Ibu dalam naungan Arsy-MU. Amin…”Bisik hati Sifa yang tengah sedih dan melelehkan air mata karena seminggu lalu Orang Tuanya dipanggil Tuhan yang Maha Esa.
Kini ia hanya sendiri berteman sepi. Tinggal dalam rumah sederhana di pelosok Kabupaten Ciamis tepatnya di desa Cikatomas Sadananya Sebuah desa kecil, dengan panorama yang indah. Air mengalir dari pegunungan yang jernih dan bebatuan alam yang mengindahkan mata memandang. Sawah-sawah hijau terbentang luas, kicauan burung menguatkan segalanya.
Dalam kesendiriannya, ia dikagetkan dengan seorang lelaki yang bertubuh kekar, dan tak sedap dipandang mata.
“Permisi, permisi, de benar ini rumahnya Pak Husein?” ucap pemuda kekar itu pada Sifa yang sedari tadi duduk di teras.
“Abang ini siapa ya? Ko cari-cari Pak Husein? Pak Husein kan bapak saya” Jawab Sifa sambil melongo tatapannya penuh tanya.
“Apa.. bapakmu dek?”
“Iya, memangnya kenapa? Ada apa?”
“Tidak apa-apa”
“Euum… euumm “
“Sini dek, sambil duduk yu,” diajaknya Sifa ke kursi rotan yang berada di teras depan rumahnya.
“Ada apa ya bang?”
Tanpa basa basi dan lain menanyai selanjutnya si abang langsung menanyai adiknya.
“Kamu berarti adikku”
“Adikmu?” dengan wajah melongo.
Sifa semakin penasaran. Ada apa gerangan menyebutku dengan adiknya, apa maksudnya demikian.
“Sebentar, perkenalkan namaku Hasan dulu saya tinggal disini bersama Pak Husein ayahku, dan Bu Sri ibuku. Benar itu nama ayah dan ibumu?”
“Eummmm…….euummmm…. i..i..iya” dengan nada terbata-bata karena kebingungan.
“Berarti kau abangku” seraya ia memeluk pemuda kekar tadi tanpa memperdulikan kesangaran mukanya, karna dia hanya memikirkan masih ada saudaranya, karna ia kini tak akan sendiri lagi.
Hasan adalah kakak dari Sifa  yang kini duduk di sebuah Perguruan Tinggi negeri. Dia terlihat sangar, dengan muka beralaskan tindikan anting-anting, rambut terurai kemana arah tujuan, bercat merah dengan gelang-gelang ditangan yang cukup banyak.
“De..? Kok ade melamun begitu ? Mikirin Ema dan Bapa ? Dibuat enjoy aja de. dan jalani hidup ini seperti biasanya…ngapain mikirin mereka yang telah meninggalkan kita?” tegur Hasan saat keluar dari dalam kamar mandi.
“Iya bang… Hanya saja ade tak sempat mencium kedua tangan Ema dan Bapa. Ema pergi meninggalkanku saat aku masih bayi, Bapak meninggalkanku saat aku pergi bekerja. Sedangkan abang sendiri entah kapan bertemu sama ema ataupun bapak, kalau memang ia abang ini abang saya, inilah yang pertama kalinya aku bertemu abang dan baru tau juga bahwa aku itu punya abang sesangar kau.
Di pertemuan pertamanaya.
“Baru kali ini kutahu aku punya abang.”
“Makanya bang jangan keluyuran aja !”
“Keluyuran ? lha ade tidak tahu apa yang abang mau, mau makan saja harus memelas terlebih dulu.”
“Ya makan nasi sama ikan yang ada dong bang, kalau bisa mincing tuh dikali kan kalinya besar mungkin ada ikannya?”
“Sudahlah terserah kamu ajalah de yang penting kamu senang. Sekarang, yuk bantu abang untuk merapihkan baju Bapak dan Ema.”
“Buat apa bang dirapikan ? kan sudah rapi di lemari itu ? abang ini suka yang  aneh - aneh saja.”
“Maksudnya de, kita rapikan untuk diberikan saudara atau tetangga. Hitung - hitunglah kita beramal jariah untuk bapak dan Ema. Sudah jangan banyak tanya !”
“Tumben saja abang baik hati dan tidak sombong, muka abang sangar, lama pula aku tak berjumpa abang, abang pergi meningglakan bapa dan ema, tapi sekarang kelakuan abang sungguh mulia. Baik pula sama ade.”
“Okelah . Senyum dong. Kalau cemberut gitu jelek banget.”
“Ah.. kamu ini ada - ada saja.”
Hasan memang sedikit usil bila berhadapan dengan adeknya yang semata wayang itu. Yang baru bertemu beberapa bulan ini. Namun keusilan Hasan tak merubah kasih sayang Hasan kepada Sifa. Dianggapnya semua masa keburukan Hasan ia tutup rapat-rapat dalam memorinya, atau bahkan dibuang jauh-jauh.
Percakapan mereka berlanjut dan semakin asyik saat mereka bersama merapikan baju Bapak dan Ema mereka. sedih membara.
Saat sedang asyik - asyiknya, ngobrol tambah akrab dan keusilan abangnya itu yang semakin menjadi. Hasan menemukan sebuah amplop yang berisikan secarik surat. Diperhatikannya dalam - dalam. Rasa kaget pun menghampirinya. Ketakutan pun tersirat seketika. Di keluarkannya secarik kertas tersebut yang ternyata berisi tulisan. Dibacalah tulisan tersebut.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…
Wahai engkau buah hatiku, kami sampaikan salam sejahtera untukmu anakku. Bapak dan Ema berharap kau menjawabnya agar kelak kau layak disebut sebagai penghuni sorga…
Buah cinta hatiku,
Hasan dan Sifa Nur Fitriana…
Semoga air mata tak harus jatuh dari kelopak buah hatiku tercinta, tak ada kesedihan berlarut - larut menyelimuti rumah sederhana tempat kita pernah singgah bersama dan menghabiskan waktu dengan bersahaja penuh suka cita.
Anak-anakku… ketika kau membaca surat ini Ayah dan Ibu telah kembali kepada sang pencipta langit dan bumi. Dimana dalam naungan-NYA semua terasa tenteram dan tak perlu kau bersedih sepeninggal Ayah dan Ibu pergi.
Anak-anakku… Ayah dan Ibu tak dapat mewariskan apa - apa selain akhlak mulia dan rumah sederhana ini yang cukup untuk kalian berteduh.
Untukmu..
Hasan,
Kaulah kini pemimpin dalam keluarga. Kesabaranmu, keteguhan hatimu, keuletanmu, kecerdasanmu dan ketakwaanmu, semoga dapat kau jadikan sebagai landasan memimpin dirimu dan adikmu. Hiduplah bersahaja dan sederhana. Tak usah kau terlalu mengejar dunia fana ini.
Kehidupan ini seperti alam yang tak kenal lelah memberi arti untuk setiap insan. Namun sayang, terkadang kita sering lalai terpesona oleh banyaknya kenikmatan. Belajarlah anakku… belajarlah memahami hakikat kehidupan ini kepada alam.
Jadilah kau setegar karang. Jadilah kau sehangat mentari. Jadilah kau seindah bulan dan bintang, jadilah kau seperti angina, dan Jadilah kau segagah lautan.
Untukmu..
Sifa Nur Fitriana.
Kini mungkin kau telah besar dan cantik seperti Ema. Hari ini juga kamu mengetahui bahwa kamu mempunyai abang yang baik dan punya sifat kepemimpinan yang bagus, kelak akan menjadi pemimpin Sifa sebagai pengganti Bapak dan Ema. Jadikanlah kakakmu sebagai guru dan penuntunmu atas kehendak-NYA sampai kau menemukan nahkoda untuk memimpin bahtera rumah tanggamu.
Sifa permata hati keluarga. kaulah yang membuat hati Bapak dan Ema paling was - was. Di zaman dahulu hingga sekarang seorang wanita adalah sumber mudharat dan manfaat bagi manusia. Bahkan sebagian besar dari penghuni neraka adalah wanita.
Jagalah kehormatanmu seperti halnya gadis sholehah. Taatlah kepada pemimpinmu kelak sesuai dengan petunjuk-NYA. Tutuplah auratmu. Tak usah kau gubris orang - orang yang mengajak keluar di jalan-NYA. Dan jadilah perhiasan paling berharga di dunia.
Untuk..
Hasan dan Sifa Nur Fitriana.
Kalian berdua adalah permata hati kami. Malaikat dan bidadari kecil kami. Di saat suka maupun duka. Bapak dan Ema bangga pada kalian berdua. Menjadi anak yang sholeh dan sholehah.
Kan kami siapkan rumah dan menunggu kalian di Firdaus-NYA. Anakku. Janganlah bersedih. Berbahagialah.. berbahagialah…berbahagialah… anakku..
Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wa barakatuh…
Dari
Bapak dan  Ema

Seketika itu, air mata Hasan mengalir di sela - sela pipinya.
“Ada apa bang ?” tanya Sifa.
Ini de ada surat dari Ayah dan Ibu…”
Lekas, Sifa pun membaca surat itu. Tak lama kemudian ia menitikkan air mata.
“Sudahlah bang, memang benar katamu. Kita jalani kehidupan kita ini saja seperti sedia kala dan melaksanakan wasiat Ayah dan Ibu.”
“Iya de.”
“Yasudah, sekarang kita cepat selesaikan ini karena sebentar lagi adzan dhuhur berkumandang. “
“Baik ”
  
Wahai mentari…
Sampaikanlah salam hangatku
Kepada kedua orang tuaku…
Dan juga titipkan pesan
Malaikat dan Bidadarinya kini
Akan menjadi bongkahan karang
Dan mutiara dunia

Akhirnya semua telah terjadi
Ayah dan Ibu telah diambil sang penguasa
Semuanya akan segera tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama
yang pasti kita ketahui adanya.

Apakah kau masih selembut dahulu
Seperti yang dikatakan Bapak dan Ema
Kini aku pun mengerti bang!
Abang, selama ini hidup jauh dari Bapak dan Ema
Kau dan aku tegak berdiri
melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin.

Apakah kau akan membelaiku dengan kasihmu
semesra dahulu, seperti yang dikatakan Bapak dan Ema
ketika kudekap
dekaplah lebih mesra
lebih dekat.

Apakah kau masih akan berkata
kudengar derap jantungmu,
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam asa menuju cita.

“Abang…….., abang……….., abang……………. Abang pergi kemana?”
Dengan mata sayu, rambut terurai, muka keriput seperti nenek-nenek. Kemana lagi harus mencari abangnya, yang baru beberapa hari ini tinggal bersamanya.
“Ternyata abang pergi lagi?” dengaan tubuh terkulai lemas jatuh ke lantai.
“Ya Alloh baru saja aku akan berbahagia karna dalam pikirku, abangku bisa bekerja dan cepat cepat melunasi hutang-hutang pada paman. Tapi ini, ia malah pergi.” Ucap sifa dalam kekecawaannya.
Ia terus saja melangkah menuju kamar tidurnya, mata menerawang kesekeliling tempat tidur, dan ternyata si abang meninggalkan searik kertas.
Duduklah ia di tempat tidur, lalu ia baca surat yang ditinggalkan abangnya itu.

Assalamualaikum, de..
Mungkin setelah ade menemukan surat ini yang tergeletak di atas tempat tidur, abang sudah pergi jauh dari rumah kita. Langsung saja de, sebenarnya abang malu pada Bapak dan Ema, dalam surat wasiatnya ia begitu mengagung-agungkan abang, dan sekarang abang telah menjadi orang yang tak berguna. Ade tahu abang bersifat seperti ini karna dari dulu abang tak pernah satu rumah dengan Bapak dan Ema sampai SLTA. Abang dulu kabur ketika ibu mungkin sedang mengandungmu. Abang tak kuat harus memberatkan Bapak dan Ema. Jadilah abang pergi demi sesuap nasi. Abang berpesan pada Sifa  jaga dan jangan tinggalkan surat wasiat dari bapak dan Ema.
Dalam ucap terakhirnya, abang pati kan kembali suatu saat nanti.
Wassalamualaikum,
Dari
Hasan Abangmu.

Kini hidupnya harus mengabdi pada pamannya untuk membayar hutangnya dulu yang ia pakai untuk mengobati ayah.
Namun, kenyataan yang pahit yang ia dapatkan. Selama itu pamannya selalu tidak menganggap dia sebagai keponakannya, apa yang ia kerjakan tidak mendapat bayaran sepeser pun dari pamannya. Gajinya selama ini paman potong untuk mengganti hutang perawatan ayahnya karena tak kunjung jua ia bayar.
"Paman, saya mau minta uang gaji saya untuk keperluan .
Aku ingin bersekolah, mungkin dengan hasil bekerjaku pada paman cukup untuk bayar ini itu. Aku mohon paman.
"Tidak, gajimu telah kupotong, itu juga ta kunjung beres utangmu padaku. Kalau sampai aku tidak memotong gajimu, sampai kapan kau mau bayanr hutangmu". ujar paman.
Paman tolonglah...pada siapa lagi, aku sendiri tidak diperbolehkan bekerja diluar selain padamu. seharian aku bekerja tak mungkin aku tidak mendapat gaji. Aku ingin bersekolah paman.”
Pergi kamu, pergi sana jangan harap gajimu datang mengalir sampai ke tanganmu...”
“Pamaaaaannn....tolonglah”
“Pergi kau, keponakan sialan!!!”
“Pamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnn..” teriak Sifa.
Sambil menangis, dan tersungkur karena ia didorong
Sampai kepalanya terbertur kursi disudut ruangan.


Dalam pikir Sifa “bila ku terus-terusan tinggal lebih lama disini bersama paman, maka aku sendiri tidak akan temukan kebahagiaaan.
“Ya, aku harus pergi" ucap Sifa penuh harap.
Sampai akhirnya Sifa pun nekat pergi demi menggapai cita-cita yang diinginkan ayahanda tercinta. Ia berpikir dengan kepergiaanya akan mendapat sebuah pekerjaan  yang layak dan bersekolah apa yang ayah wasiatkan.
"Demi harapan ayah aku harus pergi" ujar Sifa.

Melanglang buana ke negeri sebrang
demi mendapat cita-cita yang agung
harapan telah terpatri dalam sanubari
keteguhan telah kutanam dalam jiwa
kesungguhan telah terpatri dalam asa
demi mendapat kasih yang kudamba
berilah jalan menuju keridoan

Mata gadis itu memandang langit celah jendela. Pemandangan indah terhampar di depan mata. Awan putih seolah menari-nari riang. Sinar mentari memantul keemasan. Gemuruh mesin mengindahkan pendengaran. Terjalnya jurang memacu adrenalin. Indahnya alam mengalahkan detak jantung. Mata memandang kerumunan sekelompok orang berdiri, mengalun kesana kemari.
Dari karcis yang ia pegang, ia tahu bahwa kereta yang ia tumpangi bernama Argo bromo. Menuju kota tujuan Sifa.
Ia memejamkan mata seraya meneguhkan hatinya. Ia meyakinkan dirinya kuat. Terlelap dikerumunan membuat hati tak karuan. Namun, sebagai perempuanpun tak kalah kuatnya seperti para lelaki kuat. Meskipun ia merasa kini tidak memiliki siapa- siapa lagi.
Bagi seorang perempuan cukuplah keteguhan hati, serta membawa iman dalam diri sebagai teman dan penenteram jiwa. la kembali menegaskan niat, bahwa ia sedang melakukan pengembaraan untuk mengubah takdir. Mengubah nasib. Serta tuntutannya untuk membayar hutang ayah pada sang paman. Seperti saran Bi Inah ia harus berani berhijrah dari satu takdir Allah ke takdir Allah lain yang lebih baik.
 Mungkin dengan perginya kamu dari rumah ini akan sedikit menenangkan hatimu, dan bisa berpikir lebih jernih tetang masa depanmu kelak. Tanpa kungkungan dari pamanmu itu yang tak mau mengakuimu ada, lamun Sifa mengenang perkataan bibinya. Kereta terus saja melaju meninggalkan rel-rel jalur antar kota itu, terus saja melaju.
Jakarta semakin dekat di depan, dan Bandung semakin jauh di belakang.
"Baru pertama ke Jakarta ya Dik?" tanya lelaki muda yang duduk di sampingnya. Pemuda itu memakai celana kain hitam dan jaket biru tua dengan gagahnya memakai sepatu hitam legam. Rambutnya rapi  berbelah sisi. Ia menaksir usia pemuda itu sekitar dua puluh sembilan lebih.
"Iya kang. Akang  juga yang pertama?" jawabnya, balik bertanya, dengan logat sundanya yang kental.
"Tidak. Saya sudah empat tahun di Jakarta."
"Berarti sejak tahun 2007 ya Kang?"
"Tidak. Sejak awal 2008."
"Kerja ya kang?"
"Iya Dik. Kalau adik, mau kerja? Atau mau sekolah?"
Ia berpikir sejenak. Ia tidak tahu pasti. Akan apa ia pergi. mau bekerja atau mau sekolah.
Sesungguhnya selama perjalanan ia hanya memikirkan hutang biaya ayahnya berobat, mencari pekerjaan yang layak, kelak untuk membayar hutangnya pada sang paman. Selain itu juga ia memikirkan asiat yang diberikan sang ayah, bahwa ia harus bersekolah setinggi-tingginya, agar ia bias hidup lebih layak dan baik untuk masa depannya kelak. Untuk bertahan hidup juga demi mencari takdir yang lebih baik.
"Kok malah bengong Dik."
"E... tidak, saya ke sini  mungkin untuk dua duanya. Ya untuk cari kerja dan untuk sekolah lagi."
"Baguslah. Sudah ada pandangan mau kerja dimana? Atau sudah ada agen yang mengurus semuanya."
"Belum sih Kang. Nanti saya cari di sana saja. Akang kerja di mana?"
"Saya kerja di sebuah kilang di kawasan Subang Jaya. Kalau adik mau, saya bisa bantu. Saya punya banyak teman yang bisa membantu. O ya kenalkan, nama saya Rudi Hermawan. Biasa dipanggil Awan atau Wan.
Lelaki muda itu mengulurkan tangan kanannya. Gadis itu juga mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Lelaki muda itu.
"Terima kasih. Nama saya Sifa Nur Fitriana. Oleh teman-teman saya selama ini saya biasa dipanggil Nur ."
"Wah bagus sekali.
"Saya panggil Dik Nur.  ya," kata
Pemuda itu sambil melepaskan jabatan
Tangannya.
Akhirnya kereta yang ia tumpangi sampai di stasiun Kiara Condong Jakarta. Bergegas ia turun dan secepat kilat meninggalkan pemuda yang sedari tadi duduk disampingnya. Ia tak peduli kemana arah tujuan, tak peduli pada siapa ia harus mencari jalan keluar. Sampai akhirnya ia kebingunan akan pergi kemana.

Harum semerbak keindahan surga ,
terdiam dan terpaku,terasa hampa ta' ada guna
Namun, anganku melayang jauh
Aku bermimpikan keindahan
membelaiku, merangkulku dengan
cinta kasihmu....
cinta yang ku damba yang ku rasa
kasih.. peluk erat tubuhku
cintai aku..
jauhkanlah aku dari debu-debu penebar kotor dan memudarkan semangatku...
rangkulah aku
bersama kasihmu
agar ku tetap tegar bersama indahnya dunia...
sejukanlah hatiku bersama ayat-ayatmu

Hawa dingin menusuk kerongkongan, untaian kata berjalan meleok kemana arah melangkah, kumandang azdan magrib menusuk sanubari penuh lelah.
membawa damai dalam jiwa.
membawa ketepian
tunaikan kewajiban
Berkerudung keringat dan air mata, duduk diserambi masjid penuh suka cita, lantunan ayat ayat menyejukkan hati gundah gulana, membawa damai dalam jiwa.
Malam semakin hening, ba'da isya aku berencana melanjutkan perjalanan demi mendapat tempat istirahat selama aku tinggal di Jakarta. Terlalu lelah untuk melangkah, sesampainya aku dibawa ke alam impian.
Ayam berkokok kegirangan, buih-biuh malam berlalu, sang surya menyapa waktu, menampakkan senyum simpul pada dunia, daun hijau berseri penuh pesona, sang embun basahi bumi penuh riang canda, burung berkicau riang gembira, akhhh ternyata itu semua hanya harap semata, hari ini detik ini tak ada lagi kicauan burung, hangat mentari menyapa, daun-daun elok ramah, yang kulihat saat ini adalah impian semata, aku ingin pergi dari dunia kejam, menyiksaku menggerogoti, hati pilu tak ada rasa, semangat juang mencari harap harus lebih ekstra, beginilah hati pilu ta bisa merasakan kebahagiaan.

Ganasnya Jakarta...
Impian semata jika ingin bersantai dengan Jakarta.

Dengan penuh kebimbangan dalam diri, gadis yang taat dan patuh pada ajaran yang diridhoi sang pengusa. Ia harus bergelut dengan penatnya akan kesabaran dan menjaga kesucian diri dari apa yang di harapkan agamanya.
Suatu ketika saat mulai melangkah jauh menapaki lorong-lorong kota Jakarta. Menapaki aspal di persimpangan gadis manis itu di kerubuti para lelaki yang kerjanya usil, entah apa yang harus ia peroleh, meminta tolong pun sama tak ada yang mendengar, dengan bantun maha kuasa keajaiban ia bererhasil dan lolos dari genggaman para lelaki yang tak bermartabat.
Secepat kilat ia pergi meninggalkan persimpangan dengan asa bimbang dan keraguan untuk melangkah lebih jauh menapaki kota Jakarta.
*****
Hujan turun, tak ada tempat bernaung. Berteduh di bawah rindangnya pohon tak menyejukkan hati. Bergelimpangan air mata langit jatuh basahi jalanan kota Jakarta. Semakin lama tetesan langit genangi seluruh kota Jakarta.
“banjir.........banjir....... “ teriakan orang-orang.
Begitulah hirup pikuk kota Jakarta.
Lalu lalang kendaraan sudah tak lagi bisa dikendalikan, asap knalpot, pedagang asongan, pengamen jalanan, pengemis muda, tua, Pedagang Kaki Lima, semua berbaur di kota ini.
Apa yang harus kulakukan di tengah penatnya kota yang seperti ini, kemana lagi kaki ini berpacu dengan aspal jalanan kota Jakarta.
Akan kucari sebuah pekerjan yang cocok dan pantas untukku. Melenggak lenggok mata memandng ke setiap sudut kota, berharap temukan mutiara-mutiara yang indah agar ku dapat menerimaku dengan bekal ketekunan dan kegigihan.
Suatu harap penuh pesona tak disangka secarik kertas berwarna kuning jatuh ke pangkuan saat duduk istirahat. Termenung, membisu diatas teriknya mentari menusuk ulu hati. Kemana lagi hidup, saat jauh dari semua orang tak punya sahabat, Jakarta kejam.
Secarik kertas
Dengan isi :
Dibutuhkan segera seorang wanita umur 20 -25 tahun untuk bekerja di sebuah percetakan ternama di Jakarta Selatan. Segera kirimkan surat lamaran anda ke alamat di bawah ini.
Jalan Pegangsaan Timur No. 51 Jakarta.
“Bekerjalah dengan sungguh-sungguh sampai akhirnya temukan kebahagiaan yang sungguh nyata pula.”

Nekat ia datangi kantor tersebut, dengan surat lamaran di tangan dengan tanpa tergesa-gesa. Surat lamaran itu akhirnya Sifa berikan pada satpam yang sedari tadi berdiri saja depan pintu masuk.
“Permisi pak, saya mau bertanya. Apakah ada lowongan kerja disini? Karena tadi pagi saya menemukan selebaran, bahwa ada lowongan kerja di tempat ini. Kalau misalkan ada, harus kemana dan kepada siapa saya memberikan surat lamaran saya?”
“Owh.. iya ada, mana coba saya liat surat lamarannya. Oke, biar saya saja yang masuk ke dalam untuk memberikan surat lamaran ini.”
“Baik, terikmakasih pak.”
Suara adzan siang kali itu menggetarkan hati Sifa, bergegas setelahnya lamaran itu sampai ke tangan pak satpam ia meminta izin terlebih dulu untuk menunaikan solat dzuhur di mushola yang tak jauh dari kantor tersebut.
“Silakan anda tunggu saja disini, nanti saya panggil.”
“Owh iya pak  makasih, sambil menunggu saya minta izin untuk pergi ke mushola.”
“Owh…iya silakan, musholanya di sebelah sana.” Ucap Pak satpam dengan ramahnya sambil menunjukan arah mushola ke sebelah kanan kantor.
Tepat pukul Tiga belas nol-nol Sifa kembali ke tempat tadi. Tak lama saat itu juga pak satpam memanggilnya. Bergegas Sifa masuk ke ruangan.
Dideretan kursi ruang tunggu Sifa termenung, saat begitu banyak sekali orang di depan, samping dan belakang dirinya sibuk berbincang-bincang dengan bahasa yang sangat menarik, begitulah bahasa sastra yang indah dan menarik untuk di dengar dan dibicarakan. Mereka menghapal salah satu karya sastra terpopuler, ada yang melamun memikirkan apa yang seharusnya ia kerjakan di ruang tunggu itu, ada yang membaca sebuah novel sastra terpopuler, majalah gadis dan lain sebagainya.
Lama menunggu, dengan harap cemas, tak satupun orang yang ia kenal, orang disampingnyapun tak mengindahkan dia yang berada sedari tadi mengajaknya berbincang-bincang. Mereka tak peduli dengan keadaan disekelilingnya, mereka egois.
Sifa dihentakan dengan nomor urut Seratus Tiga puluh satu yang disebutkan oleh si petugas penyeleksi.
“Sifa Nur Fitriana, silakan masuk ketempat yang telah disediakan." ucap petugas penyeleksi disana.
Dengan muka pucat, gugup, badan gemetarr, hati dag dig dug, Sifa terlihat sangat tegang melenggok ke depan pintu tes, bismillah ucap salam.
Assalamualaikum........” ucap Sifa sambil memegang gagang pintu. Dan membukanya secara perlahan.
“Waalaikumussalam..” ucap seseorang yang berada di ruangan tes tersebut.
Dengan muka tegangnya Sifa menghapiri meja yang telah siap menghadangnya.
“Silakan duduk nak” ucap pak Jono.
“Terimakasih pak” seraya Sifa duduk di hadapan pak Jono si pemberi tes.
“Iya, silakan”
“Siapa namanya?”
“Sifa Nur Fitriana, pak”
“Tanggal lahirnya kapan?”
“22 Desember 1987, pak”
“Alamat rumahnya dimana?”
“Di Ciamis kota manis, pak.”
“Kenapa anda melamar ketempat ini?”
“Karena saya sangat membutuhkan pekerjaan ini, untuk biaya hidup di kota yang kejam ini, pak.”
“Jabatan apa yang ingin anda capai?”
“Jabatan disesuaikan dengan kemampuan yang saya miliki.”
“Berapa gaji yang anda minta.”
“Untuk masalah gaji, bapak mungkin yang lebih tahu sesuai dengan pekerjaan yang bapak berikan untuk saya.”
“Owh, ya sudah silakan anda boleh meninggalkan tempat ini dan untuk informasi lebih lanjut nanti saya akan hubungi anda lagi atau anda bisa melihatnya di papan pengumuman.”
“Baik pak, terimakasih, Assalamualaikum.” Ucap Sifa sambil berlalu dari ruangan pak bos.
“Waalaikumussalam.” Ucap terakhir pak bos.

Dunia tak menginginkan Sifa  hidup bahagia, tertawa, nyaman bersama dekapan alam. Merintih dikala sedih bersama awan. Menangis bersama tetesan air hujan. Bersenandung riang bersama pepohonan. Seakan mereka tak menginginkan Sifa berada dekat bersamanya.
Terasa pedih memang hidup seorang diri tanpa pendamping disisinya, tanpa itu semuanya membuatnya kian rapuh, dan melepuh. Dulu ia hidup bersama ayahnya, ayah yang selalu ada setiap saat, mendekapnya setiap waktu, meninabobokannya dikala tidur, hamparan senyum mengindahkan setiap kali membuka mata, membuatnya bahagia dan hidup penuh makna.
Dulu ia pernah juga tinggal beberapa hari bersama abangnya. Abang yang ia kenal setelahnya ia beranjak remaja, itu juga ia tahu si abang yang mencari-cari nama ayah dan ibunya. Namun tak lama ia merasakan hidup bahagia bersama abangnya, ia pergi tak memberi kabar kembali.
Bersama debu jalanan ia hidup. Bersama terik mentari menjadi penopang segalanya. Angin berdesir melajukan kaki kemana arah melangkah. Jalan terjal menjadi sahabat setia mengarungi jalan penuh duri-duri. Usaha yang ia lakukan penuh coba, penuh derita serta perjuangan.
Angin berbisik pada telinga si gadis. Asyiknya  duduk termenung di taman. Ditemani wewangian bunga melati. Terbujur kaku tak bernyawa. Tak bermakna.
Duduk termenung di bangku taman beralaskan keheningan dan kerinduan. Rindangnya dedaunan pohon menyejukkan hati gundah gulana. Mata menerawang jauh, terkesiap penuh rindu, rindu pada ibu. Terlelap bersama desiran angina sore.
“Dinda, bangunlah mari ikut bersama ibu.” ucap wanita berjubah putih.
Sifa terbangun melihat sesosok wanita berjubah putih. Mengajaknya pergi ke alam impian dan harapan penuh makna.
 “Kamu siapa?” dengan mata telanjang, Sifa menerawang wanita setengah baya.
“Aku ibumu nak. Mari ikut bersama ibu ke surga”
“Tidak, aku tak mengenal dirimu, kamu siapa? Ke surga?” ucap Sifa dengan penuh heran.
“Ayolah dinda, aku ibumu, ibu merasakan apa yang sedang kamu rasakan sekarang ini, mari nak ikut bersama ibu. Dinda kangen ibu kan?”
“Euuuummmmm……”
“Kenapa?”
“Euuumm…… tidak!, kamu bukan ibuku, tapi sungguh aku kangen ibu, aku kangen banget sama ibu, aku ingin dipeluk ibu, aku ingin dimanja ibu. Kau benar ibuku?”
“Ayolah nak sekarang, mari ikut bersama ibu, ibu tak punya banyak waktu. Cepatlah nak, iya nak aku ini ibumu. Ibu yang selalu merindukanmu. Ayo nak cepatlah bergegas.“
“ibuu… aku ingin memeluk ibu. Ibuuuuu…”
Angin berbisik pilu pada pendengarannya. Hembusan hawa dingin menusuk pori-pori. Jalan riuh penuh debu dan asap.
“Tertawa kegirangan, rangkulan penuh hangat.”
“Sayang, ayo pergi bersama ibu.”
“Ayo bu !” dengan penuh girang Sifa merangkul ibu.
Peluk kasih hangat, kecupan kening ibu membangunkan Sifa yang terlelap dibangku taman. Sambil mengusap-ngusap kening, Sifa terbangun keheranan. “Eummm ternyata hanya mimpi.” Ucap sifa seraya membenarkan tas yang menjadi bantal.
Tertidur kembali, dibawa hembusan angin senja. Tanpa memperdulikan orang-orang disekelilingnya.
****
Angin berbisik perlahan. Mengajaknya bangun bersama debu-debu jalan. Langkah kaki seorang wanita membangunkan Sifa yang terlelap dalam sebuah lanjutan mimpi indahnya.
“Heuummm ibuuuu…..” teriak Sifa.
Dia mengigau.
“Dik, bangun dik hari sudah gelap”
Menggeliat membuka mata, suara parau mengikuti.
“Heeuuuueeeeeemmmm, iya...”
Terkejut melihat seorang wanita setengah baya membangunkan dirinya yang mungkin sejak dari tadi siang tertidur di bawah pohon.
“Adik sedang apa disini?”
“Euuuuuummm….”
“Adik mau kemana? Ko bawa bekal sampai segini banyak”
“Euuuuuu……”
“Kenapa euumm saja, kayanya adik terlihat kebingungan”
“adik ga bisa bicara?”
“Euuuuuu….. eeeeeeuuu.... eeengga..”
“Kenapa dik?”
“Euumm, engga ta.. ta…ta..tadi saya berniat beristirahat sebentar disini, tapi hari sudah gelap begini ya bu?”
“Terus adik mau kemana?”
“Saya tidak tau bu, aku bingung mau kemana?
“Hari sudah gelap nak, apa ad mau mencari alamat rumah saudara ade yang ada disekitar sini?”
“Tidak bu, saya kesini mau mencari pekerjaan, sekaligus mau melanjutkan kuliah. Tapiii.. sekarang ini aku belum tau mau tinggal dimana, sebelum aku dapat tempat kos-kosan yang terjangkau dengan uang yang saya punya.”
“Ohh.. begitu, ya sudah hari sudah gelap, untuk hari ini mau ikut bersama ibu?”
Tiba-tiba terdengar petir menggelegar, disertai hujan yang mengguyur mereka berdua di tengah pekatnya diujung senja hari itu.
“Kenapa bu”
“Ikut bersama ibu”
“Apa bu?”
“Ikut bersama ibu, tinggalah beberapa hari ini bersama ibu, samapai kau mendapatkan kos-kosan.” Ucap wanita setengah baya itu sambil mendekatkan ke telinga Sifa, karena suara hujan yang disertai petir yang mengganggu suaranya.
“Baiklah bu, terimakasih sebelumnya, oh ya namaku Sifa Nur Fitriana. Panggil saja Sifa.” Ucap Sifa sambil mencium tangan wanita setengah itu.
“Iya baik, nama saya Soraya, ade bisa panggil saya bu Aya.” Ucap bu Soraya.
“Baiklah bu.” Ucap Sifa dengan mata berlinangan sayu karena terharu dan bahagia.”
Ternyata di dunia ini masih ada yang peduli dan mau berbagi kasih bersama sesama makhluk ciptaannya. Hujan lebat malam itu, bagai demo pada pemerintahan. Mengamuk, menepuk, menyeruak, membantai. Sampai-sampai angin kencang pun ikut menyertainya.
“Ayo dik, cepat bergegas sebelum hujan menerpa kita. Hujan malam ini begitu lebat tak seperti biasanya kita naik kendaraan dari sini saja.”
“Baik, bu.”
“Alhamdulillah, angkutan datang.”
“Mari nak naik.”
“Iya bu.” seraya Sifa memegang tangan ibu, agar tidak terlepas dari genggamannya.
Meski bersusah payah untuk menaikinya karena penuh dengan penumpang dan bau yang tak sedap dihirup. Meski begitu mereka memaksa masuk.
Beruntungnya ada seorang pemuda yang mau mengalah dan mempersilakannya duduk.
  
Di malam yang dingin berkabut rindu
Berselimut kesendirian, bertabur angan
Kuterbangun menatap langit-langit kamar
Terlintas di benak sosok engkau penyemangat hidup
Yang selalu menemaniku menjemput pagi
Yang menyaksikan lalu lalang orang-orang
Yang selalu menemaniku menikmati panasnya sinar mentari
Yang menyaksikan rintihan air hujan
Yang selalu menemaniku menyaksikan bulan dan bintang
Dan kembali mengantarku ke dalam tidur yang panjang
Semua itu kini tak dapat lagi kurasakan
Karena saat ini ku tak lagi bersama dirimu
Mekipun sebenarnya ku tak bisa
Namun ku yakin semua itu akan berakhir
Ayah ………
Aku rindu dengan senyummu
Aku rindu dengan kasih sayangmu
Aku rindu dengan belai lembutmu
Aku rindu akan pelukmu
Ku ingin kau tahu itu
Ayah ……..
Kau selalu ada
Di setiap hembusan nafasku
Di setiap bangun dan tidurku
Di setiap langkah kakiku
Di setiap apa yang ingin ku gapai
Karena kau begitu berarti dalam hidupku
Kalian penyemangat dan pemberi keteduhan
Dikala hujan mengguyur bumi ini
****
Ternyata hidup di kota besar tidak semudah hidup di desa. Selain harus berjuaing untuk bertahan hidup dia harus berjuang mempertahankan keimanannya, tanpa harus memilih jalan pintas dibalik dilema-dilema yang dialaminya.
Pagi ini bersenandung riang, menyaksikan alam penuh harap dan angan. Mentari yang selalu temani indahnya pagi, menyeruak alam mimpi. Kubuka jendela pagi ini. Hangatkan seluruh jiwa yang lelah karenanya.
Pagi indah ini merupakan hari yang sangat ditunggu-tunggu, menunggu harap bahagia sekaligus harap cemas menunggu keputusan tes masuk ke salah satu kantor percetakan.
Terjadi perbincangan antara bu Hera dan Sifa. Karena pagi itu sifa harus segera bergegas meningalkan rumah bu Hera untuk menjemput mimpi.
“Pagi ini aku harus pergi bu, terimakasih untuk tumpangannya. Maaf aku telah merepotkan ibu, kali ini aku tak bisa memberikan ibu apa-apa, mungkin suatu saat nanti aku akan kembali kesini untuk menemui ibu. Hari ini aku akan menjemput impianku untuk melihat pengusmuman tesku di salah satu kantor percetakan dan mungkin akan dilanjutkan untuk mencari tempat tinggalku sementara. Sekali lagi terimakasih untuk semuanya bu, aku pamit dulu. Assalamualaikum.” Ucap Sifa penuh haru kala itu pamitan pada bu Hera yang menolongnya.
“Waalaikumussalam.” Ucap bu Hera seraya memberikan sedikit bekal pada Sifa.

****
Jalan penuh debu kembali menunjukan kegirangannya pada Sifa kali itu.  Terik mentari temaninya menjemput mimpi. Sebuah tas ransel dipunggungnya dengan terlihat ringan tanpa beban. Sebuah tas kecil merah muda temani harinya berjalan penuh kebimbangan dan harap cemas mengelayuti.
Seperti kebanyakan hari itu Sifa merasakan kembali harap cemas saat akan diumumkannya kelulusan ujian SMA. Hari mendebarkan sungguh sangat menyebalkan jika harus menunggu lebih lama lagi.
Datang ke kantor dengan harap pasti, kali itu pak satpam yang dulu menghadapnya tak terlihat. Tak ada seorang pun yang ia kenal disana, sekalipun ia menyapa tak ada seorang pun yang peduli padanya.
“Asalamualaikum.” ucap Sifa pada pak satpam yang ada disana.
“Waalaikumsalam.” Jawab pak satpam.
“Maaf pak saya mau tanya untuk pengumuman hasil tes untuk pekerja baru ada disebelah mana ya?”
“Oh, tes yang kemarin ada di papan pengumuman, yang terletak di samping ruangan pak direktur.”
“Bisakah bapak menunjukkan jalan untuk kesana?”
“iya silakan, adik jalan lurus saja dari sini, belok kanan, belok kiri, lurus lagi, nah disana tempatnya.”
“Oh begitu ya pa, terimaksih.” ucap Sifa seraya meninggalkan pak satpam.
“Sama-sama.” Jawab pak satpam sambil mempersilakannya mencari papan pengumuman.
Aku berjalan mengikuti apa yang telah pak satpam arahkan  sambil agak kebingungan karena baru melihat suasana pabrik yang seperti itu. Akhirnya aku menemukan papan pengumuman itu yang digerumuti orang-orang.
Aku tak bisa melihat hasil tes itu dengan jelas karena penuh sesak dengan orang – orang yang melihatnya. Setelah orang – orang pergi baru aku bisa mencari dengan leluasa untu mencari namaku.
Ucap syukur terlontar dari bibir mungil sifa sesaat setelah melihat namanya terpampang dengan status diterima seraya akupun bersujud syukur sebagai tanda terima kasihku kepada Tuhan yang telah memberikan kesempatan kepadaku untuk menjalankan pekerjaan ini demi meraih masa depan yang lebih baik.
Akan segera kusampaikan kabar gembira ini kepada ibu Hera yang telah aku anggap sebagai pengganti ibu kandungku. Akupun bergegas pulang dengan hati berbunga – bunga.
Sambil berjalan menuju rumah aku teringat akan surat wasiat bapa dan ema tercinta yang telah menguatkanku sampai akhirnya aku kuat dan selalu tegar ketika ada masalah yang datang.
Aku tak bisa membendung rasa kangen ini pada sang ibu tercinta hingga air mata, membasahi pipi ini.
Siang itu ibu Hera tidak ada di rumah jadi aku belum bisa menceritakan kabar gembira ini. Aku menunggu sampai ibu Hera pulang. Tertidur dikursi depan rumah, mentari akan segera kembali pulang kesarangnya. Petang itu rumah sepi cukup membuatku tertidur pulas. Tapi tak lama itu bu Hera pulang dan membangukanku.
Sepulangnya dari rumah bu Hera aku langsung mencari tempat kontrakan untuk tempatku tidur dan istirahat. Namun hari sudah gelap, aku tak bisa menemukannya secepat kilat. Tapi berkat pertolongan dan atas ijinNya aku pun mendapatkan tempat tinggal itu. Ternyata sebuah rumah yang tak begitu besar berada tidak jauh dari tempat kerjaku.
Alhamdullilah ucap syukur kupanjatkan. Segera kutempati rumah kecil itu, hari itu aku tak bisa langsung beristirahat, rumah itu kotor, penuh debu, dan barang-barangnya pun telah using. Tapi berutung malam ini aku tak tidur diluar lagi. Apalagi harus tertidur ditaman. Malam kian larut aku bermaksud untuk membereskan kamar tapi mata ini tak lagi dapat diajak untuk berkompromi.
Saat beristirahat aku teringat akan hutang-hutang pada paman. Ditambah lagi pesan ayah dan ibu setelah aku dewasa aku harus melanjutkan pendidikan tinggi. Kelak yang ingin didapatkan adalah agar hidupku menjadi lebih baik daan bermakna.
Dalam pikirnya, Sekarang saja aku bingung, darimana aku mendapatkan uang untuk bayar kuliah?? Kerja saja baru diterima tadi siang heummm…
Tertidur dikegelapan, membawa segudang permasalahan.
Keesokan harinya aku mulai masuk kerja di sebuah kantor percetakan majalah sastra. Aku ditempatkan sebagai editor. Karena pengalamnku diaggap cukup, untung saja dulu saat ku di SMA aku ikut dalam kepengurusan majalah dinding. Akupun merasa senang menjalaninya. Berbulan bulan aku bekerja aku merasa ada yang kurang dalam menjalani hidup ini, entah apa yang belum melengkapi hidup ini dan aku teringat pesan ayahku untuk meneruskan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi.
Saat setelah satu bulan aku bekerja, kali itu aku menyempatkan untuk mencari sebuah tempat untukku melanjutkan pendidikan. Seminggu kemudian aku telah diterima masuk sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta. Hari-hari kulaui dengan berkerja dan pergi kuliah.
Untung saja uangku kali ini sudah cukup untukku mengenyam pendidikan. Bulan berikutnya saat semester dua, biaya kuliah meningkat lebih tinggi. Meski sudah bekerja, uang yang ku dapat tak seberapa dan hanya cukup untukku makan dan menyisakan sedikit uang untuk membayar hutang ayah pada paman. Untuk biaya kuliahnya saja aku meminta keringanan agar aku tak sampai dikeluarkan dari tempatnya kuliah.
****
Sekian lama berkerja, biaya hidup semakin tak cukup saja. Karena setiap bulannya aku mengirimkan uang pada paman yang tingal seperempatnya itu. Dan juga biaya administrasi yang tak kunjung ku bayar. Dengan terpaksa karena tak cukup aku harus mencari penghasilan tambahan.
Tak kunjung kutemukan secercah harap, yang akhirnya aku kebingungan kemana lagi aku harus berlabuh.  Sampai akhirnya aku memutuskan untuk bekerja di sebuah café yang mengharuskan aku membuka penutup kepalaku.
Sungguh berat memang, karena aku harus bekerja dengan rasa bimbang yang berkecambuk dalam hati. Karena alasan yang sangat kuat itu cukup mengahalau segalanya. Yang ada dalam pikirku saat ini hanyalah ingin secepatnya membayar hutang-hutang ayah pada paman.
Malam itu bagaikan cambuk menamparku secara perlahan-lahan. Rasa sesal dan kemelut menghantui hidupku kini. Baru beberapa hari aku ikut bersama temanku untuk bekerja di sebuah café aku merasa hidupku tak tenang dan tak karuan.
Sampai pada malam tahun baru seperti biasanya ia bekerja di café dan secara tak sengaja Sifa bertemu pria misterius. Pikirannya terganggu ternyata pria itu menghipnotis Sifa sampai-sampai tak sadarkan diri. Dibawanya Sifa pergi oleh pria itu ke hotel entah apa yang akan dia lakukan. Malam itu ada sebuah rajia hiburan malam. Pria itu pergi meninggakan Sifa di tempat parkir saat ia akan keluar dari mobilnya. Didorongnya Sifa keluar mobil  hingga tak sadarkan. Malam itu terlihat pemuda kekar menghampiri Sifa tergeletak tak sadarkan diri. Dibangun-bangunkannya pelan-pelan namun sifa tak kunjung terbangun. Meski begitu pemuda itu tetap menolong sifa dibawanya Sifa  ke sebuah klinik yang tak jauh dari tempat parkir itu.
****
Aku mendapatkan perawatan sampai akhirnya aku tersadar. Saat mata terbuka lebar, hawa dingin menusuk tubuhku yang terbujur di tempat pembaringan, tersadar melihat sekeliling sebuah vas bunga indah dengan wangi bunga melati sejukkan indahnya pagi ini. Lihat sekeliling kamar-kamar langit terlihat tak seperti biasanya. Gorden kamar berwarna putih bersih disibakkan angina pagi kali itu. Terdiam seketika saat kulihat ada seseorang yang tak ku kenal duduk  di kursi dekat tempat pembaringanku. Seorang pemuda yang dengan taksiran berumur 28 tahunan. Termenung sesaat kala itu. Kubangunkan dia yang terlelap dalam mimpinya. Ku usap telapak tangannya yang menutupi wajahnya. Terlihat gagah dan memesona jiwa saat dia terbangun dan menyapaku dengan ramahnya.
“Selamat pagi.” ucap si pemuda itu saat bangun dari tidurnya.
Dengan gelagat kebingungan aku hanya bisa tersenyum simpul padanya. Wajahku mungkin terlihat sangat aneh kali itu, karena kebingungan. Karena kebingungan itu aku berteriak sejadi-jadinya. Rasa bimbang menggelayuti pagi Sifa kali itu.
           “Anda ini siapa? Aku berada dimana? Kenapa aku ada disini? Aku tak ingin disini, aku ingin pulang, ini bukan kamarku. Aku takut, kamu siapa?”
“Syukurlah adik sudah bangun, sabar, tenang dulu dik, adik ga perlu takut pada saya, adik ini sedang ada di klinik. Maaf sebelumnya nama adik benar Sifa?”
“Iya kenapa? Ko anda bisa tau nama saya?”
“Sabar dulu dek, jangan dulu banyak bicara, tapi apa adik sudah merasa enakan?
“ya, sudah. Anda siapa?”
Dengan ramahnya seorang pemuda itu memperkenalkan dirinya seraya dibarengi canda tawa, melepas lelah adik Sifa yang telah sadar.
 “Perkenalkan nama saya Joko Purnomo, panggil saja Joko. Untuk lebih lanjutnya kita bicarakan nanti saja ya dek, tuh ada dokter yang mau memeriksa kembali keadaan adik.”
“Baiklah, ”
Kali itu seorang dokter datang untuk memeriksa kembali keadaan Sifa. Saat itu juga dokter mengatakan bahwa Sifa diperbolehkan untuk pulang.Dengan rasa gembiranya Sifa mengucap terimakasih pada dokter. Saat itu juga mereka mengemasi barang-barang yang dibawa Sifa.
Dalam perjalanannya menuju  rumah Sifa, Joko pun menceritakan kejadian saat menemukan Sifa yang tergeletak tak sadarkan diri di tempat parkir.
Ucap terimakasih pun terlontar dari bibir mungil Sifa. Perjalanan pun berakhir di sebuah gang sempit yang letaknya lumayan jauh dari jalann raya. Joko pun seraya ikuti Sifa menuju kontrakannya.
Perbincanganpun berlanjut sampai ketika itu siang akan berlalu. Joko pun memberikan sebuah kartu nama saat akan pulang.
Keesokan harinya Sifa beraktivitas seperti biasanya. Saat setelah petang berlalu seperti biasanya Sifa datang ke Café untuk melayani tamu-tamu.
Hari semakin larut, kejadian yang dulu pernah dialaminya sungguh sangat menghantui bathin Sifa. Namun alasan yang sangat kuat yang mengharuskan Sifa bekerja keras.
Bulan demi bulan tahun demi tahun ia lalui seperti itu. Namun kebimbangan Sifa sungguh sangat tak tertahankan. Telah lama ia kumpulkan gajinya untuk membayar hutang pada pamannya, tapi kenapa hutangnya tak kunjung beres.
Suatu ketika ia menyempatkan untuk menceritakan semuanya pada sahabatnya Joko yang dulu menolongnya.
Lama ia berhubungan sebagai sahabat yang ia ketahui, Joko orang yang baik, ramah dan penyabar. Ia dari keluarga berada.
Bulan berikutnya hari-hari Sifa sedikit berubah karena pertemuannya dengan Joko si pemberi rasa nyaman dalam hidup. Joko masih muda begitu juga dengan Sifa masa-masanya yang tepat mereka mempunyai sebuah keluarga.
Joko si perjaka merasa ketertarikan dari diri sifa. Sampai akhirnya tanpa proses panjang, Joko pun melamar Sifa. Karena Sifa tak punya siapa-siapa lagi, ia menyempatkan untuk meminta restu dari paman dan bibinya yang ada dikampung.
Namun sungguh hari bahagia itu telah dirusaknya oleh paman sifa. Dengan alasan yang sangat kuat karena hutang pada dirinya menghalangi segalanya hubungan Joko dengan Sifa termakan waktu beberapa bulan untuk samapi ke pernkahan. Lama Joko tak kembali lagi ke rumah bibi Inah, akhirnya setelah tiga bulan pun berlalu Joko kembali dengan harap berbung-bunga. Karena joko merasa sangat peduli pada Sifa, akhirnya hutang Sifa pada pamannya ia lunasi sepenuhnya.
Sampai akhirnya mereka mendapat restu dari paman dan bibi. Joko pun meminta restu dari orangtuanya. Pernikahan pun terjadi. Hari bahagia itu memberikan Sifa menghirup udara segar sesegar dahulu tinggal bersama ayah.
Administrasi kuliah Sifa pun Joko lunasi sepenuhnya, sampai akhirnya Sifa mendapat gelar sarjana. Sebagai pekerja di sebuah kantor pecetakan pun ia diangkat sebagai kepala bagian percetakan.
Sungguh perjuanganku berujung pada Joko si polisi yang mengatur jalanna lalu lintas. Kini aku hidup dengan aturan yang sungguh sangat membahagiakan. Tak seperti dulu hidup penuh aturan-aturan yang harus dengan perjuangan.
Kini aturan itu telah memberi aku dan Joko sebuah kebahagiaan. Rumah dengan kesejukan dengan anak-anak yang tumbuh dengan sempurna.
Hidup bersama seseorang yang mampu membawaku pada keindahan dan kesejukan nikmat illahi.
Semua keindahan itu tak berlangsung lama, kebahagiaan bersama Joko yang kutemui dikala harti ini goyah, hati yang rapuh karena nistanya dunia, semua itu mampu hadir dalam untaian kasih yang hanya bertahan seumur jagung.
Lelaki kuat, gagah, penuh pesona tak mampu menyongsong hari tua bersamaku. Pelupuk mataku kian menggelayut menutupi bola mata indahku, hamparan kisah tak mampu kuceritakan bersama anak-anakku tercinta. Sungguh pahit nasib ini, sungguh berat cobaan ini, namun aku harus tetap berjuang demi anakku tercinta, buah hatiku bersama kekasih tercinta yang berlangsung seketika.
Bias hariku kini, saat semuanya harus kutanggung sendiri.
Sungguh malang nasib Sifa, saat ingin bahagia merantai kisah memadu hari tua, hanya berlangsung seketika. Kelam menjadi belenggu hidupnya kini. Secercah harap ia sambut-sambut dengan untaian doa-doa pada dzat maha agung. Harap kasih sejati kan datang diakhir hidupnya kini kasih nan suci abadi diakhir hayatnya menuju illahi.
**SELESAI**
                                                  Ciamis, 30 Desember 2010 


TENTANG PENULIS

DESI KUSMAWATI, penulis kelahiran Ciamis, 20 Desember 1990 menyelesaikan pendidikan Dasar di Sekolah Dasar Negeri Galuh XXVIII (2003) sekarang Sekolah Dasar Negeri I Mekarjadi, Sekolah Lanjutan Pertama diselesaikan di SMP Negeri 5 Ciamis (2006) dan sekolah Lanjutan Tingkat Atas di SMK Negeri 2 Ciamis (2009). Sejak Tahun Pelajaran 2009/2010 untuk menambah wawasan dalam bidang bahasa dan sastra Indonesia, penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Galuh Ciamis mengambil program S1.
Potret hidup dan kehidupan rona perjalanan senantiasa penulis goreskan dalam bentuk coretan-coretan sebagai apresiasi, baru tahun 2010 sebagai bukti tanda kecintaan pada dunia sastra penulis tuangkan dalam bentuk novelet dengan judul “Kusambut Mentari Esok Hari”
Saat ini penulis tinggal bersama keluarga di sebuah kampung yang damai nan asri, sejuk penuh pesona hijau sawah-sawah terbentang luas, di Dusun Cimamut, Mekarjadi Rt/ Rw 14/04, Sadananya, Ciamis, Jawa Barat. Komunikasi dengan De Echie bisa di HP. 085223544491 atau e-mail : dedesh_she@yahoo.co.id